Tiga gadis belia berjilbab dari pedalaman Jawa Barat meneriakkan lagu metal. Tidak terlalu peduli pada anggapan orang banyak, mereka melawan kemapanan persepsi berbekal literasi.

Mereka adalah Voice of Baceprot. Dalam bahasa Sunda, baceprot berarti berisik atau bawel. Malam itu, Senin 7 Mei 2018, udara di halaman belakang pub Eastern Promise hangat dan semarak. Tiga pemandu acara Monday I’m in Lust yang digelar Amity Asia Agency dan Berita Angkasa berteriak-teriak memanggil nama Voice of Baceprot (VoB).

Tiga gadis mungil berbalut kaus dan jilbab hitam naik panggung. Pekik sorak sekitar 100 penonton yang rata-rata seusia paman dan ayah tiga gadis tadi menyambut Firda Kurnia (gitar dan vokal), Euis Siti Aisyah (drum), dan Widi Rahmawati (bas). Ketiganya masih duduk di bangku kelas II SMA.

Mereka menggebrak lewat lagu “School Revolution”. Dari gebukan drum Siti yang rapat, ditingkahi raungan gitar Firda, dan betotan bas Widi, siapa pun tidak akan meragukan bahwa trio ini sedang memainkan lagu metal. Lebih tepatnya, hip metal funky. Setidaknya begitu mereka menamai genre musiknya.

Warna musik mereka banyak dipengaruhi oleh band-band metal, hip-hip, dan funk, seperti Rage Against the Machine, Lamb of God, Red Hot Chili Peppers, System of a Down, dan belakangan Dream Theater.

Setelah bernyanyi tiga lagu, Firda memprovokasi penonton untuk berteriak mengikuti ucapannya. “Stop war! Ayo ikuti saya. Stop war!” Penonton pun agak bergemuruh. “Masa suara kalian kalah sama saya. Ayo sekali lagi. Stop war!”

Penonton lebih bergemuruh. Lalu terdengar lagu “Rumah Tanah Tak Dijual”, yang tidak kalah cadasnya dengan lagu-lagu sebelumnya. Lagu ini bercerita tentang kapitalisme yang merusak lingkungan dan mengalihfungsikan lahan pertanian menjadi perumahan.

“Aku menapaki sungai yang airnya tak lagi tawar. Lumpur sawah berubah jadi karcis bingar,” teriak Firda.

Lagu ini terinspirasi dari pengalaman sehari-hari ketika Firda tinggal di Kampung Pasir Pogor, Kecamatan Banjarwangi, Kabupaten Garut. Dia kerap main di sungai dan areal persawahan. “Kami biasa main ke sungai, sekarang airnya tercemar,” kata Firda.

Firda tergolong kritis melihat realitas. Dalam lagu “School Revolution”, dia menggugat institusi sekolah yang memaksa anak didik terus belajar, tetapi tidak tahu apa yang mereka pelajari. Lagu-lagu lain juga berisi kritik sosial. Saat ini, mereka memiliki sembilan lagu. Enam lagu di antaranya sudah diaransemen dan direkam.

Official Music Video School Revolution

 

——————————

Baca Juga:

——————————

Gelisah

Proses pembuatan lagu biasanya dari inspirasi Firda yang gelisah tentang banyak hal termasuk kemapanan persepsi orang-orang. Juga tentang segala yang dia alami. Setelah itu dia mencurahkannya kepada Ersa Ekasusila Setia, guru bimbingan konseling sekaligus pembina ekstrakulikuler band yang kemudian menjadi Manajer VoB. Ersa dan Firda lalu menulis lirik dan aransemen lagu.

Pada akhir Januari lalu, “School Revolution” secara khusus direkam di studio milik Stephan Santoso, produser musik yang pernah melambungkan nama Padi dan Sheila 0n 7. “Untuk anak usia mereka, skill mereka bagus,” komentar Stephan.

Para personel VoB, terutama Firda mempunyai kesadaran kritis lantaran tidak bosan bergaul dengan buku. Firda bahkan sudah menamatkan tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika karya Tan Malaka, dan Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun September 1948 tulisan Soe Hok Gie. Buku-buku itu dia “curi” dari lemari Ersa.

“Dari bacaan itu saya jadi tahu sakitnya orang-orang dijajah. Saya semangat belajar juga dari buku yang saya baca. Kalau tidak membaca buku-buku, mungkin masih sekolah, tetapi tak tahu mau cari apa,” kata Firda.

Hampir setiap manggung di luar Garut, mereka selalu membawa buku untuk dibaca. Selain bacaan “berat” tadi, mereka juga membawa buku pelajaran sekolah. Mereka bisa absen sekolah sampai dua pekan dalam sebulan, karena manggung lima sampai enam kali di luar Garut. Bersyukur pihak sekolah mengizinkan. Para personel VoB pun tak enggan mengejar ketertinggalan dengan belajar lagi ke guru mereka ketika jadwal manggung kosong.

 

Komitmen

Trio VoB memegang komitmen untuk menunjukkan bahwa mereka mempunyai integritas dalam pendidikan, perilaku, maupun bermain band. Itu untuk melawan anggapan miring banyak orang tentang perempuan berjilbab yang bermain musik metal. “Kami memakai slogan the other side of ’metalism’. Sisi lain dari dunia metal. Maksudnya, ketika mereka mempersepsikan bahwa metal itu negatif, kami menampilkan sisi lain dari metal. Yang berhijab, tetap menjaga moral, tidak melupakan kewajiban sebagai Muslim, dan tetap belajar,” kata Widi yang menyukai buku-buku JK Rowling.

Meski demikian, tetap tidak mudah meyakinkan lingkaran dalam keluarga bahwa mereka serius main band. Semula mereka melarang dengan alasan serupa. Ketiganya lebih dapat meyakinkan karena ada Ersa, sang pendamping. Kepercayaan semakin tumbuh tatkala ketiganya kerap nongol di televisi. “Pencapaian tertinggi sebuah band bagi mereka (keluarga) adalah kalau sudah masuk televisi,” kata Firda.

Malam itu, VoB terus menggeber panggung menyanyikan sembilan lagu. Lirik-liriknya sarat kritik tajam mencerminkan para pemainnya yang doyan baca buku. VoB bukan band anak belia yang asal teriak, mereka cermin metal yang sadar literasi.

Sumber: Kompas


Websis for Edu adalah konsultan untuk adopsi dan integrasi teknologi dalam pendidikan.

Dapatkan berita terkini, tips-tips praktis, serta fakta-fakta menarik seputar pendidikan dan teknologi dengan mengikuti channel Telegram @PendidikanAbad21 atau kunjungi websis.co.id jika Anda tertarik mengetahui program Smart Classroom lebih jauh.